Wednesday, 18 November 2015

= TEMAN SATU KAMPUS =

Ardi saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Selama ini dia selalu menjalankan hidupnya dalam kesendirian. Mungkin dikarenakan kesibukan.
Mungkin juga dikarenakan keengganannya mencari pasangan. Sifatnya yang pendiam itu juga mungkin yang membuat dia lebih nyaman hidup sendiri. Hari-harinya sebagian besar dihabiskan di rumah sakit.
Bahkan ketika tidak ada shift pun, dia selalu ada di rumah sakit
.
“Dok, ada yang mencarimu,” suara sekretarisnya memecahkan konsentrasinya.
Ardi saat itu duduk di dalam ruang kerjanya sedang menata surat-surat.
.
“Siapa ya?”
.
“Katanya teman kuliah dulu. Dokter pasti kenal kalau lihat,” jawab sekretarisnya.
.
Ardi bingung. Siapa gerangan? Sifat pendiamnya itu semenjak dulu membuat dia tidak memiliki banyak teman di kampus. Dan rata-rata tidak ada yang dekat. Apalagi sekarang sudah 10 tahun semenjak lulus. Semakin jarang mereka kontak. Jadi kira-kira siapa yang mungkin mencarinya…
.
Ketika Ardi sudah dekat dengan meja resepsionis, di situ hanya ada seorang wanita berdiri.
Dia mengenakan gaun hitam, rok hitam, sepatu berhak hitam. Dia menoleh.
.
“Ardi.”
“Ra.. Rani?”
.
Ardi sangat senang sekaligus heran. Karena wanita yang berdiri di depannya adalah Rani. Ketika masih kuliah, Ardi sudah terpesona dengan Rani. Itu sebabnya dia terus berusaha melakukan pendekatan ke Rani.
Sayangnya cintanya bertepuk sebelah tangan. Rani selalu menolaknya dengan halus. Sampai mereka lulus sekalipun, walau tidak saling bertemu, Ardi terus mencoba menjaga hubungan dengan Rani
.
Sampai akhirnya Rani mengirim pesan singkat ke Ardi, “Di, mungkin kita jangan contact-contact lagi yah.
Bagaimanapun juga saya sudah bertunangan.” Pesan singkat itulah yang membuat Ardi akhirnya betul-betul menyerah dan tidak mengejar Rani lagi. Setelah itu mereka tidak pernah kontak lagi
.
Tak terasa sudah 10 tahun mereka tidak bertemu. Ardi tetap bisa melihat Rani tidak berubah. Masih tetap cantik seperti dulu
.
Begitu melihat Ardi, Rani langsung mulai menetes air mata. “Ardi tolonglah anak saya.”
Ardi melihat anak kecil yang mengenggam tangan Rani.
Usianya sepertinya baru 3 atau 4 tahun. Kulit anak kecil itu terdapat bercak-bercak merah
.
“Namnaya Cecil. Dia semenjak beberapa bulan terakhir menderita penyakit aneh.
Keluarga sudah membawanya kesana-kemari untuk mencari pengobatan. Tetapi tidak ada hasilnya
.
“Rumah sakit ini merupakan satu-satunya harapan saya.
Jika kamu juga tidak ada solusi, saya sudah betul-betul tidak tahu harus bagaimana lagi.”
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Ardi
.
“Kulitnya mengalami penyakit aneh.
Semua dokter kebingungan dengan kondisinya. Kulitnya gampang sekali berdarah.
Dan dia entah kenapa juga sangat gampang demam jika salah makan. Kalau sudah terjadi demam, demamnya akan bertahan sampai berhari-hari.”
.
Sebagai dokter spesialis anak, Ardi tidak begitu yakin mengenai gejala yang ditunjukkan anak ini.
Itu sebabnya dia mengantar mereka ke salah satu dokter spesialis kulit di sana.
Sayangnya sang dokter kulit sendiri pun tidak bisa menebak apa salahnya. Sang dokter kulit itu mengaku, selama dia 30 tahun praktek sebagai spesialis dan 50 tahun pengalaman sebagai dokter umum, baru kali ini dia menemui gejala unik ini
.
Tetapi sang dokter kulit senior ini tidak menyerah, dia bertekad untuk menyembuhkan sang gadis kecil itu. Mereka membentuk tim kecil dari beberapa bidang spesialisi yang berbeda untuk coba menganalisa dan meneliti penyakit yang diderita Cecil.
Selama proses ini, Ardi merupakan orang yang paling sibuk
.
Dia bertugas mengatur jadwal meeting untuk para dokter senior, mengumpulkan data dan informasi untuk dokter, dan sebagainya, tentunya di luar jadwal dia sendiri yang harus jaga shift, dan melayani pasien
.
Untungnya dalam satu minggu, mereka berhasil menemukan jawaban yang mereka cari.
Setelah yakin dengan diagnosa dan melakukan tindakan pengobatan, kondisi sang anak semakin membaik. Bercak-bercak merah di wajahnya juga mulai menghilang.

Pagi itu Rani mengetuk pintu ruang kerja Ardi...
.
“Ardi. Maaf mengganggu?”
“Tidak. Ada apa yah Ran?”
“Terima kasih. Betul-betul terima kasih. Tanpa kamu, saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada Cecil.”
.
“Tidak apa-apa. Sudah menjadi tanggung jawab dokter untuk menolong pasien,” jawab Ardi tersenyum.
Mampu menolong orang yang dia sukai, sejujurnya juga merupakan hal yang paling membahagiakannya
.
“Saya tidak bisa membalas budi ini. Juga sangat minta maaf, jika dari dulu saya tidak bisa menerima cintamu.
Semoga kelak saya bisa membalas kebaikanmu. Untuk terakhir kalinya, bisakah saya meminta bantuan dari mu?”
.
“Ya? Perlu apa?”
“Mohon hubungi nomor ini. Beritahu orangnya, bahwa Cecil ada di rumah sakit ini. Saya tidak bisa terlalu lama di sini lagi.”
.
“Ran…”
Ardi belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Rani sudah berlari keluar.
Ardi melihat kertas digenggamannya bertulis nomor telepon luar Jakarta. Rani ada urusan apa sampai harus meninggalkan anaknya sendiri di rumah sakit?
Tanpa pikir panjang dia pun mencoba menelepon…

“Ya? Halo?” suara seorang perempuan. Terdengar seorang perempuan tua.
“Emm.. Ya, apakah ini keluarga Cecil?”
.
“Ya, benar!
Siapa Anda?
Apakah Cecil ada di situ!?”
suara perempuan itu terdengar tegang. Ardi merasa heran.
Apakah Rani tidak memberi tahu keluarganya kalau dia membawa anaknya ke Jakarta untuk berobat?
.
“Ya Bu.
Cecil ada di sini.
Si Rani-nya meminta saya telepon untuk minta tolong jemput Cecil pulang. Dia ada di Rumah Sakit XXX sekarang.”
.
“Apa?
Apa maksudmu?
Mohon jangan bercanda! Cecil ada di sana? Apa yang kamu mau?”
.
Ardi menjadi lebih heran.
“Ya. Seperti yang saya bilang Bu,
Cecil di sini. Silahkan jemput yah.
Ibunya sepertinya ada urusan, jadi tidak bisa mengantar pulang.”
.
“Tolong jangan kamu bercanda! Ibunya sudah meninggal setahun yang lalu!”

Cecil akhirnya keluar dari rumah sakit dan pulang ke daerahnya.
Mendengar penuturan cerita yang disampaikan keluarga, akhirnya Ardi bisa menarik kesimpulan. Cerita yang tidak masuk akal, tetapi sepertinya memang begitulah yang terjadi
.
Rani sudah meninggal semenjak satu tahun yang lalu. Dia meninggal dengan gejala yang sama dengan Cecil.
Sayangnya karena tidak ditemukan obatnya, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beberapa bulan yang lalu Cecil juga mulai menunjukkan gejala yang sama.
.
Keluarga besar, tidak mau kehilangan Cecil, mencoba segala cara.
Sebulan yang lalu, mereka datang ke Jakarta untuk mencoba mencari rumah sakit lebih baik di sana. Selama di Jakarta, mereka menginap di rumah orang tua Rani.
Cecil kecil bersama ayahnya tidur di kamar yang dulunya ditempati Rani. Di hari pertama, tidak ada kejadian aneh atau apa-apa. Namun….
.
Keesokan harinya Cecil hilang..........
.
Panik dan bingung, apalagi Cecil kecil sedang sakit,
membuat mereka menempuh segala cara untuk mencari. Tetapi hasilnya sia-sia belaka.
Pencarian selama dua minggu tidak membawa hasil. Terpaksa keluarga itu pulang terlebih dahulu. Keluara Rani berjanji akan terus menyebarkan brosur, dan sebagainya untuk mencari si kecil.
.
Ardi dapat menarik kesimpulan. Entah bagaimana Rani, yang seharusnya sudah almarhumah, yang membawa Cecil menemui Ardi. Mengapa dia mencari Ardi, Ardi tidak mengetahuinya.
Yang pasti akhir cerita ini, walaupun membuat bulu kuduk merinding dan mistis, setidaknya membuat Ardi bahagia, karena bisa membantu untuk Rani yang terakhir kalinya…
.
◦★◦ Jika saat ini kalian sedang sendirian, sadarlah bahwa kalian benar² tidak sendiri ◦★◦

No comments:

Post a Comment

Archivo del blog